Pengaruh
latar belakang budaya yang dimiliki siswa terhadap proses pembelajaran IPA ada
dua macam. Pertama, pengaruh positif akan muncul jika materi pada pembelajaran
IPA di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan (budaya) siswa sehari-hari. Pada keadaan ini proses pembelajaran
mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya. Proses pembelajaran yang
seperti ini disebut dengan proses inkulturasi (enculturation).
Sebaliknya,
yang kedua, proses pembelajaran IPA di kelas menjadi `pengganggu' ketika mated
pelajaran IPA tidak selaras dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar
pada diri siswa, serta guru berusaha untuk `memaksakan' kebenaran materi
pelajaran IPA (budaya Barat) dengan cara memarjinalisasikan pengetahuan
(budaya) siswa sebelumnya. Proses pembelajaran seperti ini disebut asimilasi
(Cobern dan Aikenhead, 1998; Aikenhead dan Jegede, 1999). Jika proses
pembelajaran inkulturasi meningkatkan cara pemahaman siswa, sebaliknya proses
asimilasi berpotensi menjadikan siswa untuk mengalami apa yang disebut dengan
keterasingan (alienation) terhadap kebudayaannya
sendiri, yang pada gilirannya dapat menimbulkan `gangguan sosial' dalam
kehidupan sehari-hari. Jauh sebelumnya, Maddock (1983) menemukan bahwa
pendidikan IPA di Papua Nugini ielah menghasilkan efek keterasingan pada
siswa-siswa sekolahnya, yang telah `memisahkan' mereka dengan kebudayaan
tradisional masyarakatnya. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa semakin tinggi
pendidikan formal seseorang (di Papua Nugini), semakin besar efek keterasingan
yang dialami.
Secara garis besarnya hambatan guru kelas 4, 5, dan 6 dalam
melakukan KBM IPA dengan menggunakan alat IPA (science kit) antara lain
disebabkan oleh :
1.
Guru pada umumnya merasa kurang
memiliki waktu yang cukup untuk melakukan merakit alat dalam persiapan dan
pelaksanaan KEM IPA dengan menggunakan alat ;
2.
Tempat alat/komponen IPA yang
diperlukan terdapat di berbagai kotak penyimpanan sehingga harus mencocokan
satu persatu alat yang diperlukan untuk percobaan ;
3.
Guru merasa banyak dibebani dengan
tugas yang harus dipersiapkan terlebih dahulu sehingga kadang-kadang guru
merasa harus memprioritaskan tugas-rugas selain IPA yang harus dipersiapkan
terlebih dahulu ;
4.
Beberapa percobaan memerlukan
waktu persiapan perakitan yang cukup lama dan rumit sehingga guru enggan
melaksanakannya ;
5.
Pengaruh KBM IPA dengan
menggunakan alat dianggap belum ada pengaruhnya terhadap soal-soal Ebtanas ;
dan
6.
Guru merasa sulit untuk
mengorganisasikan penggunaan alat IPA dalam KBM karena jumlah kit terbatas,
sedangkan jumlah peserta didik rata-rata di setiap kelas 4, 5, dan 6 antara 34
s/d 42 orang anak.
7.
Birnbingan Teknis (Surpervisi
Klinis)
Untuk lebih lancar dan memahami/menguasai konsep-konsep IPA
secara utuh, pihak Dit Dikdas beserta jajarannya merasa perlu mengadakan
penataran. Secara empiris fakta menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun peserta
penataran Kit IPA SD yang diselenggarakan oleh Dit. Dikdas maupun bidang Dikdas
Kanwil Diknas selalu meningkat. Akan tetapi berdasarkan informasi dari berbagai
monitoring yang dilakukan oleh pihak Pusbangkurrandik (1985, 1947) dan Dit.
Dikdas (1997) alat IPA SD belum dipergunakan sesuai dengan pedoman dan hasil
penataran belum ditindaklanjuti penerapannya dalam KBM IPA secara optimal. Oleh
karena itu, untuk mengetahui
sejauhmana efisiensi penggunaan alat IPA di SD/MI diadakan studi tentang
penggunaan Kit IPA SD khususnya di Kodya Banjarmasin. Atas dasar tersebut, maka
rumusan permasalahan yang dijadikan tandasan dalam studi ini adalah (1) apakah pengetahuan dan keterampilan guru SD
dalam melaksanakan KBM dengan menggunakan alat IPA (scicence kit) belum
memadai ?, (2) apakah pelaksanaan pelatihan/penataran IPA selama ini kurang
memiliki dampak pada kesanggupan melaksanakan tugas KBM ?
Mempelajari
IPA pada prinsipnya tidak cukup sekedar menghafal suatu konsep mulalui buku
pelajaran, namun lebih dari itu belajar IPA pada hakekatnya merupakan suatu
proses dan produk. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai kesatuan cara,
misalnya pengamatan/observasi suatu obyek atau gejala alam, melakukan
pengukuran, membuat hipotesis, mendisain, menguji data, dan melakukan
percobaan. Dengan melibatkan peserta didik melakukan percobaan, maka mereka
akan lebih mudah memahami hasil pembelajarannya secara utuh. Oleh karena itu,
dalam kegiatan belajar mengajar, guru dituntut untuk menguasai keterampilan
proses IPA. Pembelajaran IPA yang baik dan benar, tidak dapat dipisahkan dengan
keterampilan proses IPA yang berkaitan dengan konsep IPA itu sendiri. Untuk
melaksanakan pembelajaran IPA secara utuh, berikut ini penulis sajikan satu
model pendekatan sederhana pembelajaran IPA SD yarg mengacu pada teori
konstruktivisme (diadaptasi dari Osborn (1985: 103) dalam Muhammad Natsir
(2000: 18).
Secara
faktual, sekolah tidak memiliki ruang khusus (labcratorium). Oleh karenanya
penyimpanan dapat dilakukun di berbagai tempat yang dianggap aman dan mudah
mengambilnya. Sebagai contoh, penyimpanan Kit IPA di ruang, guru, dinilai oleh
guru sangat mudah mobilisasinya dan sewaktu-waktu guru ingin melakukan
percobaan sebelum mengajar (persiapan) lebih praktis melakukannya. Berbeda
apabi!a penyimpanan alat IPA di ruang kepala sekolah, dari segi keamanan diakui
guru lebih aman ; dan ditinjau dari aspek pengawasan kepala sekolah untuk
memantau frekuensi guru menggunakan kit IPA dijamin lebih akurat akan tetapi
dari segi kepraktisan guru merasa kurang praktis. Hal ini dikarenakan manakala
guru akan menggunakan kit IPA, namun kepala sekolah sedang pergi atau berada di
ruang kerja dan kunci mereka bawa sehingga praktis hal ini justru merugikan
siswa. lmplikasi dari kondisi tersebut adalah KBM IPA dengan menggunakan alat
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Di sisi lain, hal itu memberi
peluang bagi guru yang kurang memiliki komitmen tinggi dalam menggunakan kit
IPA dalam KBM.
Tag :
ARTIKEL
0 Komentar untuk " CONTOH ARTIKEL TENTANG PERMASALAHAN PEMBELAJARAN DI SD SERTA SOLUSINYA BAGIAN IV "