BAB II
PEMBAHASAN
A. Implikasi Terhadap Pendidikan
Dalam
Konstruktivisme istilah pendidikan lebih diartikan sebagai mengajar. Bagi
konstraktivist mengajar bukan kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada
murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam
mengkonstruksi pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap
kritis, dan mengadakan instifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar
sendiri (Bettencourt, 1989). Mengajar, dalam konteks ini adalah membantu
seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri (von
Glasersfeld, 1989). Dalam kegiatan mengajar penyediaan prasarana dan situasi
yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan. Selain itu perlu
diperhatikan pula bahwa mengajar juga adalah suatu seni yang menuntut bukan
hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi (Paul Suparno, 1997).
a. Tujuan Pendidikan (Pengajaran).
Tujuan
pengajaran Konstruktivisme lebih menekankan pada perkembangan konsep dan
pengertian (pengetahuan) yang mendalam sebagai hasil konstruksi aktif si
pelajar (Fosnot, 1996). Ini berbeda dengan Behaviorisme yang menekankan
keterampilan sebagai tujuan pengajaran. Berbeda pula dengan Maturasionisme yang
lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah
perkembangan individu. Menurut Maturasionisme jika seseorang mengikuti
langkah-langkah perkembangan yang ada, dengan sendirinya akan menemukan
pengetahuan yang lengkap. Sedangkan menurut Konstruktivisme, jika seseorang
tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia
berurnur tua, pengetahuannya akan tetap tidak berkembang (Paul Suparno, 1997).
b. Kurrikulum.
Driver
dan Oldham (Matthews, 1994) menyatakan bahwa perencanaan kurikulum
konstruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang
menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan
dari guru kepada murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan atau kumpulan
keterampilan (skill). melainkan lebih sebagai program, aktivitas dimana pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan
sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan
(perrnasalahan) yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti
(Paul Suparno. 1997).
c. Metode
Setiap
pelajar mempunyai caranya sendiri untuk mengerti, karena itu mereka perlu
menemukan cara belajar yang tepat untuk dirinya masing-masing. Dalam konteks
ini maka tidak ada satu metode mengajar yang tepat, satu metode mengajar saja
tidak akan banyak membantu pelajar belajar, sehingga pengajar sangat mungkin
untuk mempertimbangkan dan menggunakan berbagai metode yang membantu pelajar
belajar. Selain itu, mengingat pengetahuan dibentuk baik secara individual
maupun sosial, maka kelompek belajar dapat dikembangikan (Paul Suparno, 1997).
d. Peranan Guru dan Peserta Didik.
Dalam kegiatan mengajar guru hendaknya berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta
didik berjalan dengan baik. Menurut Tobin, dkk., (1994) "bagi siswa, guru
berfungsi sebagai mediator, pemandu, dan sekaligus teman belajar (Paul Suparno,
1997). Dalam artian ini, guru dan peserta didik atau pelajar lebih sabagai
mitra yang bersama-sama membangun pengetahuannya. Adapun peserta didik dituntut
aktif belajar dalam rangka mengkonstruksi pengetahuannya, dan karena itu
peserta didik sendirilah yang harus bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Menurut Tobin, Tippins, & Gallard (1994)
masyarakat sekarang ini sedang mengalami sesuatu tentang apa yang disebut oleh
Thomas Kuhn sebagai pergeseran paradigma (paradigm shift). Secara umum
banyak orang meragukan kebenaran paradigma lama seperti paradigma Idealisme,
Rasionalisme, Empirisme atau Objektivisme, dan mulai menerima paradigma
Konstruktivisme. Contoh : paradigma lama yang menyatakan bahwa
"pengetahuan sudah ada sebagai suatu fakta atau kenyataan ; atau bahwa
"pengetahuan dapat ditransfer dari guru kepada siswa, dsb", sekarang
mulai diragukan banyak orang dalam bidang epistemologi dan pendidikan.
Sebaliknya. mereka mu!ai menerima paradigma Konstruktivisme yang menyatakan
bahwa "pengetahuan seseorang adalah konstruksi (bentukan) orang yang
bersangkutan., karena itu transfer pengetahuan dari guru kepada siswa tidaklah
mungkin. Menurut Tobin, dkk., dewasa ini "masyarakat pendidikan sains
ingin melihat siswa belajar sains sebagai suatu proses. Mereka terlebih di
Amerika Serikat ingin menyaksikan para siswa belajar sains dan rnatematika dengan cara yang berarti. memperkaya. dan
memungkinkan mereka menginterpretasikan alam semesta ini dalam pengertian
ilmiah.
Pergeseran paradigma dan perubahan sikap atau
revolusi kognitif seperti di atas memang menantang dan memberikan semangat bagi
mereka yang terlibat dalam bidang pendidikan, namun sekaligus juga
membingungkan dan menakutkan karena suatu makna baru dari pencarian dalam
bidang pendidikan muncul. Misalnya Osborne (1993) dan Matthews (1994) mengemukakan
bahwa Konstrukttivisme mengandung suatu bahaya yang mengarah kepada empirisme
dan relativisme, terlebih dalam pendidikan sains (Paul Suparno, 1997).
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk " CONTOH MAKALAH KONTRUKTIVISME DAN LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN NASIONAL BAB II "