BAB IIPERKAWINAN ANTARORANG YANG BERLAINAN AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
2.1 Perkawinan Antarorang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Positif di Indonesia
Sebelum UU No.1/1974 tentang perkawinan berlaku secara
efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, di Indonesia berlaku berbagai golongan
warga Negara dan berbagai daerah sebagai berikut :
1. Bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam yang telah siresipiir dalam
hukum adat;
2. Bagi
orang Indonesia asli lainnya berlaku hokum adat;
3. Bagi
orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia;
4. Bagi
orang-orang Timur Asia Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan –ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan sedikit perubahan;
5. Bagi
orang-orang Timur Asing lainnya dan warga Negara Indonesia keturunan Timur
Asing lainya tersebut berlaku hukum adat mereka;
6. Bagi
orang-orang Eropa dan warga Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan
mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Bedasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 ini, dinyatakan tidak berlaku, termasuk Peraturan Perkawinan
Campuran.
Dalam UU No. 1 tahun 1974, Perkawinan Campuran diatur
pada pasal 57, yang merumuskan dengan jelas, bahwa perkawinan campuran itu
adalah perkawinan antar 2 orang yang di Indonesia
tunduk pada hokum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Jelaslah, bahwa berdasar atas pasal 57 UU perkawinan,
maka perkawinan antar orang-orang yang berlainan agama di Indonesia bukanlah
perkawinan campuran. Karena itu, apabila UU Perkawinan, dilaksanakan secara
murni dan konsekuen, seharusnya setiap pengajuan permohonan perkawinan antar
orang-orang yang berlainan agama, yang sebelumnya telah ditolak, baik oleh KUA
(bagi Islam) maupun oleh Kantor Catatan Sipil (bagi mereka yang mau
melaksanakan perkawinannya menurut agama selain Islam), maka seharusnya
pengadilan negeri secara yuridis bisa menolak permohonan ijin kawin tersebut.
Sebab berdasarkan pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f
UU No. 1/1974 yang menegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
bahwa perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Ketentuan pasal tersebut
berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hokum agamanya, berarti
dialarang pula oleh UU perkawinan.
Namun, kenyataannya sekarang menunjukan bahwa Pengadilan
Negeri masih memberikan ijin perkawinan antar orang yang berlainan agama dan
memandangnya sebagai perkawinan campuran yang diatur dalam pasal 60-62 UU
Perkawinan. Padahal sebenarnya menurut pasal 57 UU Perkawinan, jelas bahwa
perkawinan campuran hanya diberlakukan untuk perkawinan antarorang yang berbeda
kewarganegaraannya dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
2.2 Perkawinan Antarorang yang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam
Yang dimaksud dengan “perkawinan antarorang yang
berlainan agama” di sini adalah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang
bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya
sebagai berikut :
1 Perkawinan antar seorang pria Muslim
degan wanita musyrik.
Islam melarang antar seorang pria Muslim dengan wanita
musyrik, berdasarkan firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 221, menerangkan bahwa
:
“ Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa
wanita musyrik yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jarir al-Thabari (seorang
ahli tafsir), bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah mussyrikah
dari kalangan dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an
memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut
pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa
non-Arab, seperti wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai
kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Bhuda,Hindu, konghucu,
yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya hidup setelah mati, dan
sebagainya.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrik
baik dari bangsa Arab ataupun dari bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni
Yahudi dan Kristen tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang
bukan Islam , dan bukan pula Yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh pria
Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Bhuda, hindu, Konghucu, karena
pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori
“Musyrikah”.
2 Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan
wanita Ahlul Kitab.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim
boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi/Kristen), berdasarkan firman
Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 5:
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu”.
Selain berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 5,
juga berdasarkan sunah Nabi, di mana Nabi pernah kawin dengan wanita Ahlul
Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi
yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah kawin dengan seorang
wanita Yahudi, sedang para Sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang
perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena
pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadahnya mengandung unsur syirik yang
cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan Ibunya
Maryam (Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayan Uzair putra Allah dan
mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi.
3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah
dengan pria non Muslim
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan
antara seorang wanita muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi,
ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme,
Hiduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak mempunyai kitab suci
dan juga kitab yang serupa kitab suci.
Termasuk pula disini penganut Animisme, Ateisme, Politeisme dan
sebagainya.
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan
kawin antara wanita Muslimah dengan pria non Muslim, ialah :
a. Firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221, yang mengatakan bahwa:
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”
b. Ijma
para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Tag :
MAKALAH AGAMA
0 Komentar untuk " CONTOH MAKALAH PERKAWINAN ANTARORANG YANG BERLAINAN AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM BAB II "